Anakku Bukan Anak Kecil Lagi

Cileungsi, 27 Maret 2020

Sharing yuuuk

Hari Jumat selalu menjadi momen yang dinanti-nantikan oleh kami, para ibu yang ditinggal putra-putri tercinta dalam perjuangan menuntut ilmu di pesantren. Pada hari itu, Jumat menjadi waktu yang istimewa karena kami bisa berkomunikasi langsung, bahkan menjenguk mereka. Hari Jumat adalah hari libur bagi para santri dan santriwati, sehingga menjadi waktu yang sempurna untuk berbincang, melepas rindu, dan memastikan mereka dalam keadaan baik.

Namun, Jumat kali ini terasa berbeda. Kami, para ibu, hanya bisa berkomunikasi melalui telepon atau video call. Tidak bisa bertatap muka atau memeluk mereka seperti biasanya. Penyebabnya adalah wabah yang dikenal dengan nama Corona, jenis virus yang dikenal sebagai COVID-19. Sekedar mendengarnya saja sudah membuat tubuh terasa meriang, tenggorokan gatal, dan ada kekhawatiran yang menggelayut di hati. Mungkin hanya sugesti, namun rasa cemas itu tak terhindarkan.

Seperti minggu-minggu sebelumnya, percakapan dimulai dengan pertanyaan khas seorang ibu, "Gimana kabarnya, Nak? Sehat kan? Kegiatan apa saja hari ini?" dan berbagai pertanyaan lainnya yang rasanya tak akan habis jika disebutkan satu persatu.

Tetapi hari ini ada momen yang membuatku terkejut sekaligus bangga. Jawaban anakku terhadap pertanyaan sederhana memberikan kesan yang mendalam. Saat aku bertanya, "Kakak, vitamin yang kemarin mama bawakan sudah diminum atau belum?" Ia menjawab dengan nada tenang, "Mama, kemarin vitamin yang mama bawakan itu satu tablet dosisnya 1000 mg, sedangkan yang kakak butuhkan di usia kakak saat ini hanya 65-90 mg. Jadi aku minumnya tiga hari sekali, dan hanya setengah tablet saja."

Mendengar jawaban tersebut, perasaan sebagai seorang ibu membuatku tersentak. Aku teringat kembali ketika anakku masih kecil. Rasanya sulit dipercaya bahwa kini ia sudah paham betul tentang kebutuhannya sendiri. Padahal, usianya baru menginjak 12 tahun. Ternyata anakku bukan lagi anak kecil yang perlu diawasi setiap saat. Ia sudah tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan tahu apa yang baik untuk dirinya.

Keputusan untuk memasukkan anakku ke pesantren, meski sempat dipandang “tega” oleh beberapa orang, kini terbukti tidak salah. Pesantren bukan sekadar tempat belajar ilmu agama, tetapi juga tempat pembentukan karakter, kemandirian, dan kedewasaan. Orang-orang yang berpikir bahwa aku tidak menyayangi anakku karena memilih pesantren adalah salah besar.

Jadi, bagi para ibu yang sedang galau dan merasa berat hati berpisah dengan anak karena pendidikan di pesantren, coba pertimbangkan apa yang kuceritakan ini. Menitipkan anak di pesantren bukanlah pilihan yang salah, justru langkah ini bisa menjadi awal bagi mereka untuk belajar mandiri, bertanggung jawab, dan dewasa lebih cepat.

Ini bukan tentang ketegaan, tapi tentang cinta yang menginginkan mereka tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan matang, yang siap menghadapi dunia dengan ilmu dan kearifan

Wallahu A'lam Bishawab







Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adab Berbicara dalam Islam dengan Merajut Harmoni Melalui Kata

Harmoni Hidup dengan Menemukan Keseimbangan Melalui Olah Pikir, Rasa, dan Raga dalam Islam

Muhasabah Diri - "Lidah orang berakal berada di belakang hatinya, sedangkan hati orang bodoh berada di belakang lidahnya " (Ali Bin Abi Tholib)