Anakku Bukan Anak Kecil Lagi
Sharing yuuuk
Hari Jumat selalu menjadi momen yang dinanti-nantikan
oleh kami, para ibu yang ditinggal putra-putri tercinta dalam perjuangan
menuntut ilmu di pesantren. Pada hari itu, Jumat menjadi waktu yang istimewa
karena kami bisa berkomunikasi langsung, bahkan menjenguk mereka. Hari Jumat
adalah hari libur bagi para santri dan santriwati, sehingga menjadi waktu yang
sempurna untuk berbincang, melepas rindu, dan memastikan mereka dalam keadaan
baik.
Namun, Jumat kali ini terasa berbeda. Kami, para ibu,
hanya bisa berkomunikasi melalui telepon atau video call. Tidak bisa bertatap
muka atau memeluk mereka seperti biasanya. Penyebabnya adalah wabah yang
dikenal dengan nama Corona, jenis virus yang dikenal sebagai COVID-19.
Sekedar mendengarnya saja sudah membuat tubuh terasa meriang, tenggorokan
gatal, dan ada kekhawatiran yang menggelayut di hati. Mungkin hanya sugesti,
namun rasa cemas itu tak terhindarkan.
Seperti minggu-minggu sebelumnya, percakapan dimulai
dengan pertanyaan khas seorang ibu, "Gimana kabarnya, Nak? Sehat kan?
Kegiatan apa saja hari ini?" dan berbagai pertanyaan lainnya yang rasanya
tak akan habis jika disebutkan satu persatu.
Tetapi hari ini ada momen yang membuatku terkejut
sekaligus bangga. Jawaban anakku terhadap pertanyaan sederhana memberikan kesan
yang mendalam. Saat aku bertanya, "Kakak, vitamin yang kemarin mama
bawakan sudah diminum atau belum?" Ia menjawab dengan nada tenang,
"Mama, kemarin vitamin yang mama bawakan itu satu tablet dosisnya 1000 mg,
sedangkan yang kakak butuhkan di usia kakak saat ini hanya 65-90 mg. Jadi aku
minumnya tiga hari sekali, dan hanya setengah tablet saja."
Mendengar jawaban tersebut, perasaan sebagai seorang
ibu membuatku tersentak. Aku teringat kembali ketika anakku masih kecil.
Rasanya sulit dipercaya bahwa kini ia sudah paham betul tentang kebutuhannya
sendiri. Padahal, usianya baru menginjak 12 tahun. Ternyata anakku bukan lagi
anak kecil yang perlu diawasi setiap saat. Ia sudah tumbuh menjadi pribadi yang
mandiri dan tahu apa yang baik untuk dirinya.
Keputusan untuk memasukkan anakku ke pesantren, meski
sempat dipandang “tega” oleh beberapa orang, kini terbukti tidak salah.
Pesantren bukan sekadar tempat belajar ilmu agama, tetapi juga tempat
pembentukan karakter, kemandirian, dan kedewasaan. Orang-orang yang berpikir
bahwa aku tidak menyayangi anakku karena memilih pesantren adalah salah besar.
Jadi, bagi para ibu yang sedang galau dan merasa berat
hati berpisah dengan anak karena pendidikan di pesantren, coba pertimbangkan
apa yang kuceritakan ini. Menitipkan anak di pesantren bukanlah pilihan yang
salah, justru langkah ini bisa menjadi awal bagi mereka untuk belajar mandiri,
bertanggung jawab, dan dewasa lebih cepat.
Ini bukan tentang ketegaan, tapi tentang cinta yang
menginginkan mereka tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan matang, yang siap
menghadapi dunia dengan ilmu dan kearifan
Wallahu
A'lam Bishawab
Berarti harus ada anak kecil lagi
BalasHapusShafatya Hadir bu
BalasHapus