Muhasabah Diri - "Lidah orang berakal berada di belakang hatinya, sedangkan hati orang bodoh berada di belakang lidahnya " (Ali Bin Abi Tholib)
Bismillahirrohmanirrohim
Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah SWT yang
telah memberikan kita nikmat iman, Islam, serta kesehatan. Shalawat dan salam
semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan umatnya
hingga akhir zaman. Pada kesempatan yang baik ini, izinkan saya untuk sedikit
sharing terkait “Muhasabah Diri - "Lidah orang berakal berada di belakang hatinya, sedangkan hati orang bodoh berada di belakang lidahnya " (Ali Bin Abi Tholib)”. Semoga apa yang kita sampaikan ini dapat menambah keimanan kita dan
menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
Introspeksi atau muhasabah
diri adalah bagian penting dalam Islam, di mana seorang Muslim diajak untuk
merenungkan tindakan, niat, dan ucapannya. Sikap ini membuat seseorang terus
memperbaiki diri, menata hati, dan mengendalikan lisan agar tidak menjadi sumber
keburukan. Ali bin Abi Thalib RA pernah memberikan nasihat yang mendalam
tentang pentingnya menjaga lisan: "Lidah orang berakal berada di
belakang hatinya, sedangkan hati orang bodoh berada di belakang lidahnya."
Kata-kata ini mengandung pesan agar kita sebagai umat Muslim selalu berpikir
sebelum berbicara, karena kata-kata bisa mencerminkan isi hati dan tingkat
kebijaksanaan seseorang.
Nasihat Ali bin Abi Thalib ini
menekankan pentingnya menggunakan hati dan akal sebelum mengucapkan sesuatu.
Orang berakal akan mempertimbangkan apakah ucapannya memiliki manfaat atau
justru berpotensi menimbulkan fitnah atau menyakiti orang lain. Sementara itu,
orang yang bodoh biasanya langsung berbicara tanpa memikirkan dampaknya. Ini
menggambarkan bahwa lisan harus selalu dikendalikan oleh hati yang ikhlas dan
akal yang sehat, sehingga kata-kata yang keluar bisa menjadi sumber kebaikan,
bukan sebaliknya.
Ajaran ini sejalan dengan
firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah Al-Isra ayat 36: "Dan janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan dimintai
pertanggungjawabannya." (QS. Al-Isra: 36). Ayat ini mengingatkan kita
agar tidak asal berbicara atau berbuat sesuatu tanpa ilmu. Setiap kata dan
tindakan akan dihisab, dan kita harus siap mempertanggungjawabkannya di
akhirat.
Rasulullah SAW juga menekankan
pentingnya menjaga lisan. Beliau bersabda, “Barang siapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menyampaikan bahwa seorang Muslim harus
memastikan bahwa kata-katanya membawa manfaat atau kebaikan bagi orang lain.
Jika tidak, maka diam adalah pilihan terbaik. Ini karena lisan bisa menjadi
sumber fitnah, perselisihan, dan kerusakan jika tidak dijaga dengan baik.
Muhasabah atau evaluasi diri
adalah alat bagi seorang Muslim untuk mengendalikan lisan. Saat seseorang
mengingat kembali perkataannya, ia dapat menilai apakah ada kata-kata yang
menyinggung atau menyakiti orang lain. Proses muhasabah ini menanamkan kesadaran
bahwa setiap kata yang diucapkan membawa konsekuensi. Dengan demikian, seorang
Muslim dilatih untuk berbicara dengan bijak, dan berusaha agar setiap perkataan
membawa manfaat bagi orang lain.
Lisan yang tidak dikendalikan
dapat menjadi sumber banyak keburukan, mulai dari perselisihan, fitnah, hingga
permusuhan. Kata-kata yang kasar atau tidak sopan dapat melukai hati dan
merusak hubungan antara individu. Dalam skala lebih besar, lisan yang tidak
terjaga bisa menimbulkan kebencian di antara kelompok, masyarakat, bahkan
bangsa. Oleh karena itu, mengendalikan lisan merupakan salah satu bentuk
tanggung jawab sosial, karena dampaknya sangat luas bagi orang sekitar.
Salah satu cara terbaik untuk
menerapkan nasihat Ali bin Abi Thalib ini adalah menahan diri beberapa detik
sebelum berbicara, terutama saat dalam kondisi marah atau emosi. Hal ini
membantu kita mengendalikan emosi dan berpikir apakah ucapan tersebut layak
atau malah menyakiti. Dengan begitu, kita dapat memilih kata-kata yang lebih
baik dan menjaga keharmonisan dalam berkomunikasi. Tindakan sederhana ini
membantu kita mengendalikan lisan dan menjauhkan diri dari potensi ucapan yang
sia-sia atau merusak.
Alih-alih mengucapkan hal yang
sia-sia, lisan kita sebaiknya diisi dengan kalimat dzikir dan ucapan baik.
Dzikir membantu menenangkan hati, menjauhkan kita dari kata-kata kasar, serta
membuat kita lebih bersyukur dan terhindar dari perkataan yang bisa menyakiti
orang lain. Dengan kebiasaan berdzikir, hati kita akan lebih terisi dengan
kebaikan, sehingga lisan juga akan lebih terjaga dari perkataan buruk.
Dalam Islam, lisan yang dijaga
dan digunakan dengan baik bisa menjadi sumber pahala dan ladang kebaikan.
Ucapan yang baik dapat menginspirasi orang lain, memberi motivasi, dan
menumbuhkan persaudaraan. Sebaliknya, kata-kata buruk akan merusak, menyakiti,
dan mengundang dosa. Menjaga lisan bukan hanya soal menjaga diri dari dosa,
tetapi juga soal menebarkan kebaikan bagi sesama, yang dapat menguatkan ukhuwah
Islamiyah.
Kata-kata Ali bin Abi Thalib
yang mengajarkan agar lidah berada di belakang hati adalah nasihat berharga
bagi setiap Muslim. Dalam dakwah ini, kita diingatkan bahwa lisan harus dijaga
dan dikendalikan oleh hati yang ikhlas serta akal yang sehat. Dengan memperkuat
ajaran ini menggunakan ayat Al-Qur'an dan hadis, kita diajarkan untuk tidak
meremehkan lisan, karena setiap kata akan dimintai pertanggungjawaban di
hadapan Allah SWT. Semoga kita semua diberikan kekuatan untuk menjaga lisan dan
menjadikannya sebagai sarana kebaikan, bukan keburukan.
Wassalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Komentar
Posting Komentar